Bagaimana Bangsa Jepang Belajar Pemasaran?
Menurut Peter Drucker, seorang ahli manajemen yang sering kali mengunjungi Jepang, pemasaran itu ditemukan di Jepang sekitar tahun 1650 oleh keluarga Mitsui di Tokyo. Ketika sebagai pedagang, keluarga itu membuka toko yang bisa disebut toko serba ada (departement store) pertama di dunia. Baru kemudian pada awal abad ke-20 muncullah Sears, Robuk dan lain lainnya dengan kebijakan : menjadi pembeli untuk para pelanggannya, mendisain produk untuk kepentingan pelanggan, dan mengembangkan sumber daya untuk produksi, dan gagasan menawarkan asortimen yang luas dari produk pada para pelanggan. Jelaslah bahwa keluarga Mitsuilah yang mempelopori pemikiran pemasaran dan mengembangkannya sekalipun intinya adalah berdagang sebagai penyalur besar (wholesalers) dan usaha eceran (retailing).
Dengan menyimak sejarah Jepang, maka setelah keruntuhan zaman Tokugawa, dengan dibukanya Jepang dengan kedatangan Admiral Perry dalam tahun 1853, Jepang mengalami suatu transformasi besar-besaran dengan era Meiji. Reformasi Meiji bersumber pada hasrat untuk mengembangkan Jepang sehingga menjadi bangsa yang kuat secara ekonomis dan militer dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari pengaruh yang semakin besar dari pihak Barat.
Pemerintahan dibawah rejim Meiji mendorong industrialisasi, terutama dalam sektor industri raksasa (large scale industries) seperti baja, tekstil, sedangkan industri barang konsumsi kurang memperoleh dorongan. Sejak itu, para pedagang besar mulai mengalihkan atau memperluas usaha mereka ke dalam bidang produksi dan tidak memusatkan pada segi distribusi (perdagangan) saja. Pedagang yang kuat ini membentuk industri besar dan kelompok komersial yang dikenal sebagai zaibatsu. Kelompok ini menjadi makin kuat dengan makin meluasnya usaha bisnis mereka. Pada tahun 1890-an (akhir abad ke-19) kelompok ini memiliki paling sedikit 55% dari semua perusahaan industri yang besar. Sampai akhir PD II kelompok ini mengelola kegiatan bisnis mereka secara "keluarga besar" (big family approach), yang bersumber dari gaya tradisional pedagang zaman Tokugawa.
Pemerintahan dibawah rejim Meiji mendorong industrialisasi, terutama dalam sektor industri raksasa (large scale industries) seperti baja, tekstil, sedangkan industri barang konsumsi kurang memperoleh dorongan. Sejak itu, para pedagang besar mulai mengalihkan atau memperluas usaha mereka ke dalam bidang produksi dan tidak memusatkan pada segi distribusi (perdagangan) saja. Pedagang yang kuat ini membentuk industri besar dan kelompok komersial yang dikenal sebagai zaibatsu. Kelompok ini menjadi makin kuat dengan makin meluasnya usaha bisnis mereka. Pada tahun 1890-an (akhir abad ke-19) kelompok ini memiliki paling sedikit 55% dari semua perusahaan industri yang besar. Sampai akhir PD II kelompok ini mengelola kegiatan bisnis mereka secara "keluarga besar" (big family approach), yang bersumber dari gaya tradisional pedagang zaman Tokugawa.
Pemasaran secara barat tidak mempunyai pengaruh yang besar pada cara berdagang para Zaibatsu sampai tahun 1930-an. Baru setelah tahun 1930-an bangsa Jepang mulai belajar buku-buku pemasaran dengan menterjemahkan buku-buku yang waktu itu sedang banyak dipelajari bangsa Amerika sendiri yakni : Principles of Marketing oleh Fred Clark dan Marketing Organization oleh R.S Vaile. Pemikiran pemasaran sebagaimana diterapkan dalam sektor industri barang konsumsimulai mempengaruhi praktek bisnis Jepang. Sejak itu muncul pula toko serba ada model Amerika di Jepang dan mulailah pemakaian alat-alat pemasaran atau kebijakan pemasaran seperti kebijakan harga, displei barang, periklanan, dan lain-lainnya. Selama PD II tak ada perhatian sama sekali pada bisnis dan liku-liku pemasaran.
Sumber : Buku Bisnis dan Manusia Jepang oleh Drs. Bob Widyahartono
Tidak ada komentar:
Write komentar